“ANDE-ANDE
LUMUT”
Pada zaman dahulu, ada sebuah kerajaan yang sangat megah nan
damai. Rakyatnya hidup dengan aman dan sejahtera berkat dipimpin oleh raja yang
agung dan bijaksana. Di dalam kerajaan itulah hidup seorang putra mahkota yang
akan meneruskan tahta raja dimasa yang akan datang. Namun ternyata ada yang
selalu membuat hati putra mahkota resah dan gelisah, yakni tidak hadirnya
pendamping hidup. Diam-diam sang pangeran memiliki niat mengembara untuk
mencari Dewi Sekartaji yang telah lama menghilang.
Pada
suatu hari sang pangeran menjumpai sang prabu untuk melaksanakan hajatnya.
Dibawanya serta perbekalan yang akan dibawa, turut serta pengawal pribadi
beliau yang gagah perkasa menuju ruangan pribadi raja.
Tok..tok…tok (suara pintu).
Permaisuri :
“Siapa?”
Pangeran :
“Hamba bunda.”
Permaisuri :
“Oh, masuk ngger.”
(Pengeran memasuki ruagan pribadi raja dan memberi sembah
kepada permaisuri dan raja, kemudian duduk di atas lantai sambil menunduk
hormat).
Permaisuri :
“Ada apa ngger?”
Pangeran :
“Ampun bunda, maksud kedatangan hamba ingin menyampaikan beberapa hal
yang selalu mengganjal hati hamba.”
Permaisuri :
“Apa gerangan yang membuatmu resah ngger?”
Pangeran :
“Hamba ingin berjalan-jalan keluar istana bunda.
Raja : “Apa angger tidak salah?”
(Sang prabu bangkit dari singgasana, sedangkan pangeran
menundukkan kepalanya dengan hormat).
Pangeran : “Ampun ayahanda. Hamba
sudah memikirkan hal tersebut setelah sekian lama.”
Raja :
“Baiklah, ngger. Jika memang itu sudah menjadi keputusanmu.”
Permaisuri :
“Angger, sebenarnya bunda khawatir dengan keselamatan angger, tapi bunda tidak bisa
memaksamu. Pesan bunda jangan lama-lama. Jika memang sudah selesai urusanmu
diluar sana cepatlah kembali lagi ngger.”
Pangeran :
“Baik bunda, hamba mohon pamit Ayahanda.”
Raja :
“Pergilah anakku…”
(Pangeran
keluar dari ruang pribadi raja setelah menyembah 3 kali. Raja dan permaisuri melihat
kearah anaknya dengan haru).
Pagi itu pangeran meninggalkan kerajaan dengan dikawal oleh
beberapa prajurit hingga di perbatasan kota. Kemudian pangeran melanjutkan
perjalanannya dengan berjalan kaki bersama pendamping setianya hingga jauh
meninggalkan istana.
Di dalam hutan…
(Dua pemuda berjalan sedikit berhati-hati melewati semak belukar
sambil melihat kiri dan kanan, jika-jika ada binatang buas yang membahayakan
mereka).
Pangeran :
“Kita istirahat dulu di bawah pohon itu Ring.”
Giring :
“Baiklah pangeran.”
(Pangeran
dan pengawal jalan menuju ke sebuah pohon besar kemudian duduk bersama).
Pangeran :
“Kamu tahu ini daerah mana?”
Giring :
“Ampun pangeran, hamba tidak tahu.”
Pangeran :
“Saya rasa kita telah jauh meninggalkan istana. Ring, coba lihat siapa itu..?!
(terkejut)
Giring :
“Mana pangeran? Siapa?” (kaget)
(Pangeran
berdiri lalu diikuti pengawalnya kemudian berjalan menuju seseorang yang
dilihatnya).
Pangeran : “Maaf, saya bisa bertanya?”
Mbok
Rondo : “Eeeh. Oalah,
kamu ngagetin saja to le.” (kaget)
Pangeran :
“Maaf mbok, saya mau bertanya. Ini daerah mana ya mbok?”
Mbok
Rondo : “Loh, le itu darimana? ini
namanya Desa Manguntur.” (sambil terus
memetik sayuran)
Pangeran :
“Saya pengembara mbok. Saya tersesat.”
Mbok
Rondo : “Oh, yoweslah kalo begitu. Kamu
ikut saja dengan saya untuk sementara waktu.”
Pangeran :
“Apa tidak merepotkan, mbok?”
Mbok Rondo :
“Weleh-weleh. Ayo, ayo ikut mbok.”
Pangeran
: “Giring, sini!” (melambai)
Giring
: (Berlari kecil menemui pangeran),”
Ada apa tuan?”
Pangeran
: “Jangan panggil saya tuan jika berada bersama si mbok.” (berbisik)
Giring
: “Ampun pangeran. Lalu saya panggil apa?” (pelan)
Pangeran
: “Yaa…... terserah kamu saja.”
Giring
: “Baik tuan.”
Sejak pertemuan dengan Mbok Rondo di hutan itulah pangeran
kemudian tinggal di rumah Mbok Rondo hingga beberapa waktu. Setelah memastikan
bahwa pangeran dalam keadaan aman maka kembalilah pengawal ke istana untuk
memberikan kabar kepada sang prabu atas keadaan pangeran diluar istana.
Sedangkan Mbok Rondo yang sudah terbiasa dengan kehadiran pangeran dalam
hidupnya ia pun mengangkatnya sebagai anak angkatnya dan menamainya dengan nama
Ande-Ande Lumut. Begitulah keadaan pangeran dalam masa-masa pencariannya dengan
tinggal bersama Mbok Rondo sebagai rakyat biasa. Pada suatu hari Ande-Ande Lumut
bercerita kepada Mbok Rondo bahwa dia ingin mencari pendamping hidup yang
berbudi luhur. Mbok Rondopun tahu bahwa ternyata Ande-Ande Lumut bukan pemuda
sembarangan. Maka dibuatlah semacam sayembara. Beritanyapun tersebar hingga
pelosok daerah.
Di rumah para klenting….
Sampailah berita sayembara itu ketelinga Nyai Runting. Nyai
Runting adalah janda kaya di daerah Galuh di dekat Desa Manguntur. Dia memiliki
tiga orang anak, yaitu Klenting Merah, Klenting Hijau, dan seorang anak tiri
bernama Klenting Kuning. Namun, Klenting Kuning tidak seberuntung
saudari-saudarinya. Dia sering diperlakukan laksana pembantu dan sering disiksa
oleh saudari-saudarinya termasuk oleh ibu tirinya sendiri.
Klenting
Merah : “Hai kamu! bodoh sekali! cuci
baju kok masih apek begini?!”
Klenting
Kuning : “Sudah saya cuci kok, mbak
yu.”
Klenting
Merah : “Dasar bodoh!!!” (marah dan menjambak rambut Klenting Kuning)
Klenting
Kuning : “Ampun, ampun mbak yu...”
(kesakitan)
Nyai
Runting : “Heh kalian! apa-apaan
ini? Sudah, sudah. Klenting Kuning, sana lanjutkan pekerjaanmu!”
Klenting
Kuning : (Menangis dan melangkah
menuju dapur untuk menyelesaikan pekerjaan rumah)
Klenting
Merah : “Ibu, Merah sebel deh. Masa
baju Merah masih apek begini, nih?” (manja)
Nyai
Runting : “Aduh sayang, yaudah
nanti biar ibu marahin dia. Oh ya, kemana adikmu?
Klenting
Merah : “Memang ada apa sih, kok ibu
cari dia?”
Nyai
Runting : “Udah, tunggu ibu di
ruang tengah. Ibu ingin bicara dengan kalian berdua, penting.” (pergi meninggalkan Klenting Merah)
Tidak beberapa lama, para klenting sudah siap berkumpul di serambi
rumah. Tampak Klenting Merah dan Klenting Hijau bercakap-cakap bercanda dan
tertawa bersama sambil menunggu kedatangan ibunya.
Klenting
Hijau : “Aku cantik kan yunda?
Lihat nih baju baruku.” (sambil berputar dan memamerkan bajunya)
Klenting
Merah : “Haloo…..! yang paling
cantik ya jelas aku, dong. Merah gitu loh.” (menari dan tertawa)
Klenting
Hijau : “Huh! narsis abis.” (jengkel)
Nyai
Runting : “Waduh. Anak ibu sudah
pada kumpul ternyata.”
Klenting
Merah : “Bu, aku cantik kan?”
Nyai
Runting : “Iya, kalian semua anak
ibu dan semuanya cantik-cantik.”
(mengelus
kepala Klenting Merah dan kemudian duduk diatas kursi di depan kedua anaknya).
Nyai
Runting : “Putri-putriku, ibu ingin
menyampaikan berita gembira untuk kalian.”
Klenting
hijau : “Apa itu Ibu?”
Nyai
Runting : “Begini nduk, kalian
semua sudah dewasa. Sudah saatnya kalian mendapat pendamping hidup.”
Klenting
Merah : “Bagaimana caranya, bu?”
Klenting
Hijau : “Iya, bu?”
Nyai
Runting : “Di Desa Manguntur ada
sebuah sayembara. Seorang pemuda tampan sedang mencari seorang gadis sebagai
istrinya, Ande-Ande Lumut nama pemuda itu.”
Klenting : “Ande-Ande Lumut?
Hahahahaaa. (kompak)
Merah+Hijau
Merah+Hijau
Klenting
Merah : “Dari namanya saja aneh, apalagi
orangnya.”
Nyai
Runting : “Huss! dia itu bukan
pemuda sembarangan, lho.”
Klenting
Hijau : “Pemuda jadi-jadian, dong.”
Klenting
Merah : “Iya tuh. Hahaha” (tertawa)
Nyai
Runting : “Stop. Sudah… sudah. Pokoknya
Ibu mau kalian ikut sayembara itu, dan ingat… Klenting Kuning jangan sampai
tahu dengan hal ini. (kesal)
(Nyai
Runting bangkit dari tempat duduknya kemudian menatap anaknya dan pergi, para
klenting saling berpandangan heran).
Diam-diam, Klenting Kuning mendengar dari balik dinding. Dan
timbullah keinginannya untuk turut serta dalam sayembara tersebut.
Tibalah pada saat yang sudah direncanakan. Para
klenting bersiap-siap dan sudah berpakain rapi dan cantik untuk mengikuti
sayembara di desa seberang. Pagi-pagi sekali mereka berangkat menuju Desa Manguntur
dengan mengendarai kereta kuda. Setelah beberapa waktu di atas kereta, tibalah
mereka di perbatasan Desa Manguntur. Karena saat itu sedang musim hujan, Sungai
Brantas meluap dan membuat jembatan putus. Sehingga para klenting tidak bisa
lewat.
Di pinggir Sungai Brantas…
Klenting
Merah : “Waduh. Gimana caranya ini?”
(bingung)
Klenting Hijau :
“Iya yunda, gimana dong?” (merengek)
Klenting
Merah : “Huhh…tau begini aku tidak
usah pergi.” (cemberut)
Yuyu
Kangkang : “Hahahahahahahaha……”
(Yuyu
kangkang muncul dari dasar Sungai Brantas dengan melambai-lambaikan kedua capitnya ke atas. Para klenting kaget dan
mundur beberapa langkah).
Klenting
Merah : “Siapa kamu ?” (takut)
Yuyu
Kangkang : “Hahaha.. saya penguasa
di daerah sini anak manis. Hahaha….”
Klenting
Hijau :
“Yunda, bagaimana kalau kita minta tolong saja sama dia untuk menyebrangkan
kita?” (berbisik)
Klenting
Merah : “Hai tampan, bisa tidak
kamu menolong kami menyeberangi sungai Ini?” (merayu)
Yuyu
Kangkang : “Hahaha….kecil…kecil…itu
kecil. Tapi, ada syaratnya.”
Klenting
Hijau : “Dasar mata uang!!!”
Klenting
Merah : “Huss mata duitan, bodoh!”
Klenting
Hijau : “Ups….hehehe.”
Klenting
Merah : “Apa yang kamu inginkan?”
Yuyu
kangkang : “Emmm….. aku mau dicium. Hahahaha.”
Klenting : “Apaaaa?!!” (terkejut)
Merah+Kuning
Klenting
Merah : “Bagaimana kalau saya beri
kamu sekantong uang perak.”
Yuyu
Kangkang : ”Haha, tidak mau. Pokoknya
aku mau dicium. Kalau tidak mau, aku pergi saja.”
Klenting
Merah : “Baiklah. Tunggu….”
(Para
klenting berdiskusi dan merekapun menyetujui persyaratan yang diajukan oleh
Yuyu Kangkang).
Klenting
Merah : “Baik,
kami setuju.”
Maka begitulah cara Klenting Merah dan Klenting Hijau
melewati Sungai Brantas. Satu persatu merekapun sampai di pinggir sungai dengan
selamat. Sementara itu, Klenting Kuning sibuk untuk bersiap-siap.
Di dalam kamar Klenting Kuning…
Klenting
Kuning : “Apa yang harus saya
lakukan?” (mondar-mandir dengan
cemas)
Bisikan
Ghaib : “Klenting
Kuning… kamu tidak usah cemas, anakku.”
Klenting
Kuning : “Kamu siapa?”
Bisikan
Ghaib : “Saya adalah Peri Putih,
saya yang akan melindungimu. Sekarang dengarkan saya. Pakailah pakaian
yang ada di atas meja itu, kemudian gunakan bedak tai lincung itu sebagai lulur
di wajahmu. Jika ada seseorang yang mengganggu, maka lemparkanlah tongkat itu.”
Klenting
Kuning : “Baiklah, akan kulakukan. Terimakasih
peri…”
(Setelah
berkata demikian, suara ghaib hilang. Klenting Kuning melihat benda-benda yang
berada di atas meja kemudian menuruti perintah dari Peri Putih).
Setelah semuanya siap, maka berangkatlah Klenting Kuning
dengan pakaian compang-camping dengan berjalan kaki menuju Desa Manguntur
menjelang siang. Setelah beberapa saat berlalu, maka tibalah Klenting Kuning di
pinggir Sungai Brantas.
Klenting
Kuning : “Jembatannya mana ya...”
(menoleh ke kiri dan ke kanan)
Yuyu
Kangkang : “Huuhhh…bau apa ini? Cuh…cuh,
bau sekali!” (meludah)
Klenting
Kuning : “Haaai.. siapa itu?”
(berteriak)
Yuyu
Kangkang : “Hmm… Oh jadi kamu yang
bau itu. Dasar cewek jelek, sana pergi!!” (menutup hidung)
Klenting
Kuning : “Maaf paman…tolonglah saya.
Saya ingin menyebrangi sungai ini tapi tidak tahu bagaimana caranya.”
(memelas)
Yuyu
Kangkang : “Hohohoh…no..no…no. Dasar
cewek jelek. Sana pergi, aku tidak sudi menolongmu. Hmmm” (mengerang
keras)
Klenting Kuning : “Tolonglah paman. Tolong saya….” (bersipuh di atas tanah sambil terus memohon).
Yuyu Kangkang : “Hoii…perempuan bau, pergi sana!!” (marah sambil melempar benda)
Klenting Kuning : (Menghindar
dan melemparakan tongkatnya ke arah Yuyu Kangkang)
Yuyu Kangkang : “Aaaaahh!!!…….”(berteriak kesakitan
kemudian pergi)
Setelah
Klenting Kuning melemparkan tongkatnya tiba-tiba air Sungai Berantas menjadi
kering dan Yuyu Kangkangpun mati. Maka Klenting Kuning berhasil menyebarangi
Sungai Berantas dengan selamat dan aman.
Dirumah
Mbok Rondo…
Dirumah Mbok
Rondo, Klenting Merah dan Klenting Hijau sudah duduk menunggu giliran untuk
dipanggil menemui Ande-Ande Lumut. Setelah beberapa perempuan maju dan mencoba
memikat hati Ande-Ande Lumut, belum ada satupun yang berhasil. Maka sampailah
giliran para klenting.
Mbok Rondo : “Loh….loh, ada cah ayu. Mari-mari
silahkan masuk.”
Klenting
Hijau : “Biar saya yang masuk
duluan, mbok.” (nylonong maju)
Klenting Merah : “Oh tidak bisa, saya kan yang lebih tua.
Jadi harus saya dulu, dong.” (menarik tangan Klenting Hijau)
Klenting
Hijau : “Eemmm..” (jengkel)
Masuklah Klenting
Merah bersama Mbok Rondo menuju ruang tamu, untuk bertanya kepada Ande-Ande Lumut
yang berada di dalam kamar selama sayembara berlangsung.
Mbok Rondo : “Nama kamu siapa, nduk?”
Klenting
Merah : “Klenting Merah mbok.” (dewasa)
Mbok Rondo : “Putraku si Ande-Ande Lumut….mettuo iki ene’ wadon ayu
sing ngunggah-ngunggahi, Klenting Abang iku asmane…” (nyinden)
Ande-Ande Lumut : “Duh, ibu kulo mboten purun…duh ibu kulo
mboten meddon… putri wau sisone man Yuyu Kangkang…..” (nyinden)
Mbok
Rondo : “Piye iki….orangnya
tidak mau loh nduk?”
Klenting Hijau : “Coba saya mbok….” (nylonong
menghampiri Mbok Rondo dengan percaya diri)
Mbok
Rondo :
“Emm…namamu siapa nduk?”
Klenting
Hijau :
“Klenting Hijau mbok.” (percaya diri)
Mbok
Rondo :
“Klenting Hijau, tunggu ya cah ayu…”
Klenting
Hijau : (tersenyum)
Mbok
Rondo :
“Putraku si Ande-Ande Lumut….metuo iki ene’ wadon ayu sing ngunggah- ngunggahi,
Klenting Ijo iku asmane….”
Ande-Ande Lumut : “Duh…ibu kulo
mboten purun…duh ibu kulo mboten meddon…putrid wau sisone man Yuyu Kangkang….”
(nyinden)
Mbok
Rondo :
“Waduh, ngger. Sampean itu gimana, kok
semua tidak mau?
Ande-Ande Lumut : “Sepurune mbok. Maafin saya…”
(Klenting Hijau dan Merah kembali
duduk sambil berbisik-bisik)
Maka begitulah
setiap ada perempuan yang mencoba melamar Ande-Ande Lumut. Pemuda itu selalu
menolak. Tidak lama kemudian tibalah Klenting Kuning di depan rumah Mbok Rondo.
Dengan pakaian kusut dan wajah coreng-coreng bedak tai lincung. Seketika itu
suasana menjadi berubah, bau menyengat di rumah Mbok Rondo.
Klenting
Kuning : “Kulonuwun…”
Mbok
Rondo :
“Monggoh…”
(Semua yang hadir menutup hidung).
Mbok
Rondo : “Kowe sopo nduk?”
Klenting
Kuning : “Kulo
klenting kuning mbok. Saya mau ikut sayembara.”
Klenting
Merah : “Hahahaha. Apa,
mau ikut sayembara?”
Klenting
Hijau : “Mimpi
kali yeee…”
Klenting
Merah : “Kita
berdua aja yang cantik ditolak, apalagi kamu. Udah jelek, bau lagi!”
Klenting : “Hahahaha...” (tertawa
mengejek)
Merah+Hijau
(Klenting Merah dan Hijau tersenyum
sinis. Klenting Kuning menunduk malu).
Mbok
Rondo :
“Emm…baiklah nduk. Biar saya coba tanya kepada putraku Ande-Ande Lumut.” (menengahi)
Mbok
Rondo :
“Putraku si Ande-Ande Lumut….mettuo iki ene’ wadon sing ele’ rupane ngunggah-ngunggahi,
Klenting Kuning iku asmane….” (nyinden)
Ande-Ande Lumut : “Nggeh ibu…kulo purun meddun …nggeh ibu kulo
enggeh purun…“ (nyinden)
Mbok
Rondo :
“Le, apa kamu tidak salah?”
Ande-Ande
Lumut : “Tidak, mbok. Saya memang
menginginkan gadis itu.”
(Ande-Ande Lumut keluar dari kamar.
Para klenting berdiri takjub kagum atas ketampanan si Ande-Ande Lumut).
Ande-Ande Lumut : “Mbok, sebenarnya saya adalah seorang
pangeran, dan Klenting Kuning adalah Dewi Sekartaji. Perempuan yang saya cari
selama pengembaraan saya.”
Mbok
Rondo :
“Opo ngger? kamu seorang pangeran?”
Klenting : ”Apa? pangeraaan??”
(terkejut)
Merah+Hijau
Ande-Ande
Lumut : “Ya, benar.”
Klenting Kuning : “Akhirnya aku bisa bersamamu lagi
pangeran.” (tersenyum bahagia)
Ande-Ande
Lumut : “Ayo ikut kembali denganku Dewi….”
Klenting
Kuning : “Ya pangeran….”
(Klenting Merah dan Hijau gigit jari
kemudian pulang dengan tangan hampa).
Maka
begitulah perjalanan Ande-Ande Lumut dalam pencarian sang dewi hati Klenting
Kuning yang sebenarnya adalah Dewi Sekartaji. Akhirnya Ande-Ande Lumut dan Klenting
Kuning menjadi sepasang suami istri. Kini sang pangeran menjadi Raja mewarisi
tahta ayahnya. Mereka berdua hidup bahagia selamanya.
-TAMAT-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar